Inikah Senjakala Media Cetak ?

shares



Bagi anak era 90an, media cetak merupakan bacaan favorit untuk mendapatkan beragam informasi sebelum era internet dan era smartphone, memanjakan mereka untuk mendapatkan informasi.
Sebut saja Aneka Yess, majalah remaja yang melahirkan bintang-bintang papan atas seperti Titi Kamal, Indra Bekti, Irfan Hakim dll. dari ajang pemilihan cover boy dan cover girl-nya, terpaksa harus tutup pada 2014.

Sedangkan di 2016 majalah yang cukup eksis di kalangan anak muda seperti Kawanku (Kompas Gramedia) dan Cita Cinta (Femina Group) juga harus tutup. Namun Kawanku tidak benar-benar menutup hanya beralih ke online.

Memang sangat di sayangkan ketika era digital, media-media cetak sangat kalah bersaing dengan media online yang jumlah terus berkembang pesat. Berdasarkan pengakuan anggota dewan pers Stanley Adi Prasetyo yang dilansir dari laman detik, ada sekitar 2000 media online di Indonesia.
1.771 media diantaranya yang tercatat oleh dewan pers dan memenuhi syarat perusahaan. Dari jumlah yang hampir 2000, sayangnya yang memenuhi kelayakan kaidah jurnalistik hanya sekitar 211 media.
Dengan kondisi seperti ini, pengguna internet Indonesia yang berjumlah 70 juta. Tentu saja tidak semuanya paham dan dapat memilah-milih berita-berita atau bacaan yang berkualitas. Berita-berita miring hingga berita hoax sangat rami disebar saat adanya kasus penistaan agama oleh Ahok menjelang Pilkada.

Selain kasus Ahok, isu sara dan  agama juga menjadi makanan sehari-hari para media abal-abal untuk menarik jumlah klik atau pengunjung. Judul yang memprofokasi dan berlebih-lebihan ini justru mendapatkan jumlah share yang sangat banyak di media sosial.

Sungguh miris negeri ini ketika adanya kampanye politik, adanya isu SARA sangat mudah terpecah belah. Jangankan media abal-abal, media resmi yang sudah besar juga membiaskan beritanya dan lebih memihak kubu tertentu, tidak netral.

Media saat ini memang bisa memberitakan apapun dengan leluasa. Tidak seperti zaman orde baru (Orba) dimana pers sangat dikontorol dan adanya monopoli pemberitaan. Hasilnya terjadilah Berlusconian Politic ala italia, di mana pemilik media mendapat keuntungan politik dalam proses propaganda media.

Pembodohan masyarakat  begitu mudahnya dengan artikel-artikel pro kontra, tidak valid hingga artikel hoax yang sayangnya mudah dipercaya sehingga menyebabkan perpecahan.
Sebaiknya kitalah sebagai masyarakat yang harus pintar memilih bacaan. Pilihlah media yang kredibel dalam memberitakan sesuatu, netral dan tidak memihak politik manapun. Cara saya agar tidak terbawa isu adalah tidak membaca berita politik terlalu banyak, atau hindari bacaan-bacaan seperti itu yang sering diberitakan oleh media mainstream.

Related Posts